Kaca loket penerbangan swasta di bandara internasional berantakan aku lempar dengan sebuah batu sebesar mangga Harum Manis, Selasa sore kemarin. Wanita cantik di balik loket histeris ketakutan sambil menutup wajahnya yang takut terluka terkena pecahan kaca. Aku tidak peduli. Segera aku berlari lagi ke arah taman di bagian depan airport dan mengambil batu untuk kali kedua. Kali ini aku lemparkan ke loket penerbangan yang sama di sebalah kirinya. Suara kaca berhamburan di lantai makin membuat kacau balau airport. Para wanita hanya bisa menjerit ketakutan sambil lari menjauh. Sementara para pria hanya bisa terpana melihat kejadian itu. Tak satupun beranjak menghentikanku.

Aku cuek. Mataku masih melotot. Sebentar-sebentar memaki sambil berteriak-teriak tanpa moral. Habis sudah semua jenis binatang aku sebut untuk menggulirkan kekesalanku sore itu. Selembar tiket penerbangan aku acung-acungkan ke udara.

“Emang tidak bisa membawa satu penumpang lagi? Toh pesawat juga belum terbang! Apa kalian tidak punya nurani untuk menaikkan 1 penumpang saja?” Aku masih saja teriak. Sampai suaraku serak dan otot leherku mengejang.

“Dokumen sudah naik semua? Maksudnya apa? Apa susahnya menambah satu dokumen lagi?”

“Kalian tahu, ” lanjutku masih dengan suara keras, sambil menunjuk pegawai penerbangan yang berusaha menenangkanku. “Waktu berangkat ke sini, pesawat terlambat satu jam dan aku tetap menunggu! Tapi kenapa aku hanya terlambat 1 menit kalian tidak mau membawaku terbang? Bahkan aku harus membeli tiket baru? Kalian gila!”

Aku mengambil bak sampah kayu di belakangku dan bermaksud melempar lagi loket penerbangan itu ketika beberapa petugas keamanan bandara tiba-tiba menyergapku. Aku tersungkur tak berdaya ditindih lutut dua petugas. Bak sampah yang sedianya aku lemparkan terpental dan terjatuh. Isinya berantakan di lantai bandara yang mengkilat. Aku masih teriak-teriak saat kedua tanganku ditarik kebelakang dan seorang petugas memborgolku.

“Ayah, terlambat ya? Asyik, ayah masih bisa main sama kakak hari ini…”

Suara anakku pecahkan khayalanku yang tersulut kekecewaan karena terlambat ke airport dan tertinggal pesawat. Ah, kenapa pikiranku seburuk itu? Aku menghela nafas panjang. Perlahan kumasukkan ketenangan dan kerinduan anakku kepadaku ke dalam kekecewaanku tadi. Mak Nyesss…

Seketika tak kupikir tiket hangus (yang artinya uang terbuang sia-sia) yang masih aku pegang. Mungkin sisi baiknya, aku diberi kesempatan sedikit lebih lama untuk bermain-main dengan anak-anakku. Rejeki bisa dicari, tapi kesempatan indah dengan anak-anakku adalah waktu yang tak pernah terganti.

Kuangkat tas ransel dan sekardus oleh-oleh untuk kawan-kawanku di Jakarta. Kucium kening anakku dan kugandeng tangan mungilnya. “Yuk Sayang, kita pulang…”