Kemarin adalah hari paling penuh ujian kesabaran buatku. Dan aku menggores sejarah pagi itu; Aku bisa marah karena menunggu. Gara-garanya sepele, aku harus menunggu untuk mengurus sesuatu di sebuah kantor layanan publik negeri.

Setelah mengisi nama dan alamat di buku antrian kuno (buku catatan panjang, yang bisa untuk catatan tukang kredit keliling tahun  80-an) aku duduk menunggu di bangku ketiga, sebelah suami istri yang juga sedang antri. Tak sampai 5 menit, suami istri tadi mendapat panggilan dari pegawai cantik yang masih wangi. Aha, sebentar lagi giliranku…asekkk…

Sekitar 10 menit kemudian suami-istri itu keluar. Tapi namaku tak juga dipanggil. Aku santai, mungkin pegawai cantik tadi masih berbenah. 10 menit, 15 menit tak juga dipanggil. Malah aku melihat seorang tamu yang slonong boy masuk ke ruangan itu dan mendapat layanan lebih dulu. Bebek aja ngantri! Tapi, sabarrr…aku ngelus dada…sabarrr….

Sampai akhirnya ketika tamu “bukan bebek” itu keluar, aku menghampiri ruangan itu. Saat itu aku lihat pegawai cantik itu sedang online dengan HP-nya. Sementara pegawai yang lain bolak-balik di depanku. Sibuk. Sekilas pegawai cantik itu melihatku dengan tetap asik menelpon, tanpa ekspresi dan tanpa sungkan.

Emosiku mulai terpancing merasa diabaikan dan tak satupun pegawai di kantor itu yang berinisiatif membantuku, padahal sudah tidak ada satupun tamu. Setelah kulihat pegawai cantik itu menaruh HP-nya, aku mengetuk pintu yang terbuka, tanda minta perhatian.

“Mbak, giliran saya kapan?”

“Sebentar ya, Pak” tukasnya sambil tetap menghadap komputer.

“Mbak, tolong saya dikasih alasan, kenapa saya harus menunggu…”

“Sebentar ya Pak, sedang disiapkan,” elaknya. Disiapkan? Disiapkan apanya? Dia belum tahu kepentinganku ke situ mau ngapain tapi dia bilang sedang disiapkan. Jago banget nih, pikirku…

“Mbak, sebenarnya urusan saya ini siapa yang mau menangani? Apa pegawai bagiannya belum datang?” desakku. Intinya, kalau saja pegawai cantik itu bisa menjelaskan alasan masuk akal kepadaku kenapa aku harus menunggu, aku akan menunggu.

“Semua bisa saya tangani Pak, jadi nanti saya yang tangani.” Weladhalah, saya tambah empet sama kalimatnya yang semakin tidak profesional.

“Mbak, saya harus nunggu sampai kapan ini?” Intonasiku mulai meninggi.

“Bapak tunggu aja dulu, nanti saya panggil. Pekerjaan saya belum selesai,” kilahnya. Semprul. Cantik-cantik ngomong seenak udelnya.

“Mbak, kalau pekerjaan Mbak selesai, Mbak nggak bakal di sini, kalau nggak pulang yang Anda dimutasi!” jawabku sambil melotot.

Tak sampai 10 detik kemudian tiba-tiba seorang pegawai laki-laki (yang tadi lalu-lalang di hadapanku) menghampiri dan membantuku menyelesaikan urusan pagi itu. Tak sampai 10 menit urusanku selesai. Coba dari tadi aku dilayani sesuai standar layanan umum (emang ada? hayahhh…), tak akan ada emosi dan pegawai cantik itu tak perlu keki.

Duh, kenapa layanan publik negeri selalu begitu…